Minggu, 24 April 2011

Dunia Fantasi


“Aaah!” Aku terbangun dari tidurku. Terhenyak. Bangun karena mimpi buruk adalah cara paling menyebalkan untuk membuka mata. Asal tahu saja, mimpiku barusan mengerikan sekali. Mengingatnya saja sudah membuatku berkeringat lagi. Bukan, bukan mimpi dikejar monster atau setan atau semacam itu. Dalam bunga tidurku, aku dikejar panda. Ya, aku takut sekali pada panda. Pertanyaan terbesarku adalah, mengapa semua orang bilang panda itu lucu?

Aku melirik jam dinding di sudut kamar. Pukul 03.00.

Tiba-tiba, aku merasa ingin mengosongkan kandung kemihku. Terhuyung-huyung aku menuju kamar kecil. Setelah buang air, aku merasa aneh. Kenapa di luar terang sekali? Mengapa aku baru menyadarinya setelah keluar dari toilet? Mungkinkah tadi sebelum terkena air nyawaku belum terkumpul seutuhnya?

Aku heran. Antara takut dan penasaran, aku mengintip lewat gorden ruang tamu. Kau tak akan percaya dengan apa yang kulihat. Matahari sudah terbit! Aku mencoba menenangkan diri. Tenang, mungkin jam di kamarku saja yang rusak. Ya, pasti begitu. Aku mengecek jam di ruang tamu, di ruang keluarga, juga di dapur. Semuanya menunjukkan waktu yang sama. Pukul 03.05.

Aku mengacak-ngacak rambutku. Aku pasti masih bermimpi. Untuk memastikan bahwa ini bukan sekedar halusinasi, aku memberanikan diri membuka pintu depan. Ini nyata. Aku mencubit pipiku, memencet hidungku, mencakar lenganku. Sakit sekali. Berarti ini memang terjadi, sungguhan.

Sinar matahari cerah bersinar. Teriknya ganjil. Terang tanpa celoteh anak-anak yang berangkat sekolah. Tanpa suara ibu-ibu rumah tangga dan pembantu yang bergosip. Tanpa para ayah yang mencuci mobil atau bersiap berangkat kerja. Aku hanya bisa terpaku sambil memegang gagang pintu.

Sebelum sadar apa yang kulakukan, aku berlari menuju kamar utama. Seharusnya ini kulakukan sejak tadi, memberitahu ayah dan ibu.

“Ayah! Ibu!” Sambil menggedor pintu kayu kamar orangtuaku, aku terus memanggil-manggil keduanya. Aku mulai khawatir ketika tak kunjung terdengar jawaban dari dalam. Ayahku memang tukang ngorok dan susah dibangunkan, tapi ibu? Beliau selalu bangun walau hanya mendengar suara tikus di halaman depan.

Tanganku mulai lelah mengetuk pintu. Kuputuskan untuk langsung membukanya saja. Kejutan! Ayah ibuku tidak ada di sana! Matilah aku. Apakah mungkin mereka pergi saat aku tidur? Tapi kemana?

Seseorang melintas di benakku. Aku segera berlari ke kamar kakak. Tanpa menunggu lama, kubuka lebar pintu kamar penuh stiker band metal itu. Kejutaaaan, kakakku juga tidak ada.

Kengerian menyergapku. Berarti, aku sendirian. Keringat muncul sebulir demi sebulir di ujung hidungku. Aku sendirian di tengah keanehan ini, Aku sendirian di hari yang ganjil, hari dimana matahari terbit jam tiga pagi. Aku merosot ke lantai. Bingung, tak tahu apa yang harus kulakukan.

Tiba-tiba aku bangkit lalu berderap menuju halaman depan. Aku harus tau, apa yang sebenarnya terjadi. Mataku menyipit silau begitu sinar matahari menusuk mataku.

Aku terus berjalan di atas rerumputan yang ditata rapi oleh ibu. Aku berhenti
ketika kakiku menabrak sesuatu yang padat, tetapi lunak. Belum habis terkejutku, aku melihat bahwa benda kenyal itu memiliki gradasi warna yang indah sekali. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ini pelangi! Setelah kutelusuri, pelangi itu berlanjut terus sampai ke atas. Menembus langit.

Eh , bukankah di ujung pelangi ada kuali yang penuh terisi koin emas? Menggoda sekali bukan? Aku bisa kaya raya setelah meraup semua emas itu. Baru setelah itu aku akan mencari ayah , ibu, dan kakak. Yap, mungkin semua ini membuat otakku berpikir tidak wajar, tapi setidaknya aku punya rencana.

Untuk memanjat pohon, aku ahlinya. Dari semua remaja di komplek perumahan ini, hanya aku yang bisa memanjat pohon. Yang lain tak ada seujung kuku pun dari aku. Bahkan yang laki-laki pun tidak. Mereka semua cuma anak mama yang manja. Lagaknya saja preman di sekolah, padahal di rumah masih disuapin pembantu. Cih. Oke, kembali lagi ke masalah baru yang kutemui. Memanjat pohon sih mudah saja bagiku yang sering memanen mangga di rumah nenek, tapi memanjat jelly?

Aku mencoba merambat di atas jelly warna-warni itu. Seperti yang sudah kuduga, aku terpeleset. Setelah beberapa waktu berkutat dengan pelangi kenyal dan terpeleset untuk yang kesekian kalinya, aku menyerah. Sambil terengah-engah aku duduk menggelosor di rumput yang empuk. Bagaimana caranya untuk bisa sampai di ujung jelly raksasa ini? Aku berpikir keras, dan tanpa sadar bergumam, “Coba pelangi ini bentuknya seperti tangga. Akan lebih baik lagi kalau tangganya berjalan. Eskalator,”
Seperti belum cukup aku dikejutkan, pelangi di hadapanku berubah menjadi eskalator aneka warna saat itu juga! Cepat-cepat, sebelum benda ini kembali menjadi bentuknya semula, aku menaiki anak tangga terbawah, dan aku terangkat ke atas.

Kepalaku menoleh kesana kemari tiada henti. Jangan bilang aku norak atau kampungan! Kau pun pasti akan begitu jika naik eskalator pelangi menuju langit. Bukankah ini tidak terjadi setiap hari?

Sejengkal lagi aku menembus awan. Ingin tahu apa yang kulihat? Sabar ya, sebelumnya aku akan menceritakan bagaimana rasanya menembus awan. Ternyata teori bahwa awan berasal dari air yang menguap lalu berkumpul di langit itu salah. Aku tidak basah tuh, saat melewati awan. Tapi kalau awan itu mirip kapas, memang benar. Halus sekali, lebih halus dan lembut daripada kapas ibuku, yang katanya kapas paling bagus di supermarket. Karena mengira itu semacam gulali, aku mencubit sedikit awan lalu memasukkannya dalam mulut. Mataku membelalak, Alih-alih manis, yang kurasakan malah asin. Seperti… keju dan sosis… pizza! Aku mengambil segenggam awan lagi, mengunyah dengan cepat, Ternyata kali ini rasanya seperti ayam bakar. Aku ingin terus makan awan karena penasaran, rasa apa lagi yang akan kudapat. Sayang, pelangi membawaku terus naik dan melewati awan.

Di atas awan ternyata gelap. Hanya ada kerlap kerlip bintang di tengah segalanya yang hitam itu. Mendadak aku bosan. Cuma begini saja, pikirku. Lebih baik aku tinggal di awan saja, bisa kenyang. Baru selesai batinku bicara, rasa bosanku langsung sirna. Karena kusadari bahwa sumber cahaya yang tadi kukira bintang adalah sesuatu yang sama sekali lain. Cahaya kecil itu muncul dari ujung ekor binatang. Hanya saja, mataku yang minus dua ini sulit menangkap makhluk apa itu. Semakin tinggi ke atas, rupanya itu monyet. Monyet hitam, tidak menyeramkan. Justru mereka lucu sekali. Membuatku gemas. Ketika kulambaikan tangan pada monyet-monyet itu, mereka balas melambai. Tubuhnya sampai berayun-ayun di udara, membuat cahaya ekornya semakin berpendar.

“Halo, Nikita!”

Hei, dari mana mereka tau namaku? Aku yakin aku tidak pernah berkenalan secara wajar dengan er, sekumpulan monyet hitam.

”Ha, hai, darimana kalian tau namaku?” tanyaku menggantung.

“Kami tahu, namamu terkenal sekali, lho, di atas sini, selamat bersenang-senang ya!” Teriak mereka ceria.

“Terkenal bagaimana? Tahukan kalian dimana tangga ini akan berakhir?”

“Ikuti saja, ini kejutan. Sampai jumpaaaaaa!” Jawab mereka riang. Riang tapi misterius, membuatku pikiranku makin buntu. Terdampar di mana sebenarnya aku ini?

Aku mulai berpikir, sampai kapan tangga pelangi ini akan berhenti? Akankah aku terus terbawa naik hingga pucuk langit? Bagaimana jika langit tidak berujung? Masa aku harus menghabiskan sisa hidupku di sini?

Angin mulai berhembus. Agak dingin, dan aku cuma pakai baju tidur motif polkadot ini. Tidak tipis sekali sih, tapi saat ini aku berharap ada sweater tebal untuk membungkus tubuhku.

“Zlap!” Muncul sweater merah super tebal yang tiba-tiba saja melapisiku. Seharusnya aku kaget, hanya saja aku terlalu capek untuk sekedar melotot, atau tersentak. Aku ingin tidur. Rasanya tubuhku lelah sekali. Mungkin tulangku ada yang retak, atau malah remuk. Aku memang selalu paranoid dan melebih lebihkan. Seandainya kakak mendengar aku mengeluh begini, pasti kepalaku sudah dijitaknya. Sedangkan ibu pasti lebih mengkahawatirkan keadaanku. Tidak mungkin ibu membiarkan aku kedinginan. Ayah? Mungkin beliau hanya mengintip dari balik kacamata sambil tersenyum geli. Aku kangen kalian semua. Aku kangen ayah, ibu, kakak juga.

Mungkin aku benar-benar tidak bisa bertemu keluargaku lagi. Air mata memenuhi mataku. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak butuh koin emas, aku tidak butuh semua keajaiban ini. Aku mau hidupku yang normal kembali. Aku ingin bertemu keluargaku lalu memeluk mereka, supaya kami tak usah berpisah lagi. Aku tersedu dalam keheningan.

Jangan menangis, kataku pada diri sendiri. Menangis pun aku tak akan mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku mengusap mataku, dan kejutan berikutnya muncul. Pelangi kenyal yang kuniki lenyap tanpa bekas. Tunggu, kalau jembatan ini lenyap, artinya aku…

“Huwaaa…….!!!”

Aku menjerit keras sekali. Bagaimana tidak? Aku akan jatuh! Terjun bebas dari ketinggian sekian meter, atau bahkan kilometer, tak akan menyenangkan bagaimanapun bentuknya. Dan untuk mengingatkanmu, aku terjun tanpa satupun pengaman. Aku terus berteriak, dan tak juga menyentuh tanah. Ah, sudahlah, aku pasrah. Aku sudah muak melihat semua hal aneh ini. Biarlah aku jatuh sekalian.

“Bukk,” sesuatu yang empuk beradu dengan pantaku. Apa ini? Saat kuraba permukaannya, ternyata karpet. Karpet merah yang empuk sekali. Sangat tebal, dan warnanya senada dengan sweater yang sedang kukenakan.Oke, baguslah. Semoga saja karpet terbang ini bisa mengantarku pulang. Lagipula, bukankah karpet ini bisa kupakai mencari ayah ibu dan kakak? Aku tersenyum lebar. Sekelumit harapan muncul di kepalaku.

Lagi asyik-asyiknya membayangkan kembali ke kehidupanku yang normal, seseorang menepuk bahuku.

“Hai,”

Aku memutar kepalaku sembilanpuluh derajat. Dan aku membuka mulutku lebaaar sekali. Malah jangan-jangan liurku menetes. Kali ini, kau pasti akan sangat iri padaku. Kau tau? Tangan yang ada di pundakku itu milik seorang pria yang tampan sekali.
Gantengnya ya ampun, aku sampai tak mampu berkata-kata. Bahkan artis paling keren pun akan minder bila berdiri di sampingnya. Hanya saja penampilannya agak nyentrik. Kalau bisa kukatakan, mirip sekali dengan Aladdin, pacarnya Putri Jasmine itu.

Melihatku terlalu sibuk mengagumi wajahnya, dia melambaikan tangan di depan mukaku. “Halo, kamu nggak papa?” Pengucapannya terbata-bata. Sepertinya dia tidak begitu fasih bicara dalam bahasa Indonesia.

“Eh, aku nggak papa, cuma kaget aja. Kamu siapa?”

“Menurutmu aku ini siapa?” Lho, dia ini mencoba bercanda atau bagaimana? Orang aku bertanya kok ditanya balik, batinku.

“Kamu… Aladdin ya?” Bodohnya, jawaban konyol itu keluar dari mulutku. Percayalah, kau bisa melihat wajahku semerah tomat jika kau ada bersamaku.

‘Aladdin’ terdiam sejenak. Detik berikutnya, ia tertawa terbahak bahak, sampai surban di kepalanya miring. Tak menghiraukan aku yang bingung dan heran, Tawanya terus tersembur keluar. Aku hanya bisa menunggu saja sampai tawanya habis.
Setelah puas tertawa, Ia mengahadap ke arahku lagi.

“Kamu tau, aku yang mengatur hari ini untukmu,” ujarnya tanpa rasa berdosa.

“Hah? Tapi buat apa?” Orang ganteng ini yang ada di balik hari ganjilku! Dia dalangnya!

“Yah, sebenarnya aku selalu memperhatikanmu dari sini lho, kamu lucu. Kamu suka berkhayal, kan? Semua hal gila yang kamu khayalkan itu sampai ke sini. Makanya, kamu terkenal banget di atas sini, dan kami semua ada, dari imajinasimu itu,”

Aku terbengong-bengong. Aku tidak ingat pernah membayangkan mereka. Benarkah mereka berasal dari pikiranku?

“Kamu tenang saja, hari ganjil ini tidak akan kamu alami selamanya kok,”
Speechless, aku diam saja. Aku senang bisa pulang, tapi naik permadani terbang bersama Aladdin? Itu impianku. Meskipun cuma imitasinya, tapi sungguh, dia tidak kalah keren dengan cowoknya Jasmine.

“Kamu belum jawab, kamu siapa? Dan bagaimana caranya aku bisa pulang?”

“Panggil saja aku Abu”

Alisku mengernyit. Bukankah Abu itu… monyet teman Aladdin?

“Ya, kau benar. Namaku memang sama dengan monyetnya Aladdin,” Wow, dia bisa membaca pikiranku.

“Monyet yang ganteng,” Aku terkikik geli. Tak kusangka, dia ikut tersenyum geli.
Senangnya, aku naik permadani terbang. Bersama monyet ganteng ini. Samar-samar ada lagu A Whole New World mengalun. OST. Aladdin, plus angin yang bertiup semilir, uuuh, aku merasa jadi putri.

Rambutku berkibar, impianku jadi nyata!

“Klutuk!”

“Aduh!” Sebatang kapur mengenai kepalaku. Tepat ketika aku mengaduh, tawa mengejek menyambutku. Aku memandang sekeliling. Hei, aku duduk di bangku cokelat yang menyiksa! Aku ada di kelasku!

Kemana Abu? Kemana permadaninya? Kemana dunia yang aneh tadi?

Aku sudah kembali rupanya. Duniaku normal lagi. Di depan kelas, guruku berdiri dengan gagah, “ Kamu melamun lagi, kan? Ayo kerjakan soal di depan, sekarang!”
Dengan langkah gontai aku menuju papan tulis. Soal itu menyeringai, aku tak paham sedikitpun apa arti sekumpulan angka itu. Menyebalkan rasanya, harus kembali ke dunia nyata setelah menciptakan lamunan yang menyenagkan. Aku lebih suka melamun saja…


-orange-

1 komentar: