Sabtu, 30 April 2011

Tentang Biru


Aku tak pernah membayangkan bisa bertemu orang seperti dia. Mm, apa yang bisa kujelaskan, ya? Dia cukup sulit dirangkai dalam kata. Mungkin kalau diringkas jadi satu kemasan, aku pilih unik. Ya, dia… unik.

Dia bilang namanya Biru. Lucu juga, pikirku saat itu. Tapi, apa sih artinya sebuah nama? Lagipula, dia juga tidak se- biru itu kok.

Gambaran fisiknya? Wah, maafkan aku ya. Aku kurang pandai menggambar. Catat, ‘kurang pandai’, bukan ‘tidak bisa’. Aku bisa menggambarkan Biru dengan huruf-huruf yang kulengkungkan dengan ujung pena. Tidak keberatan? Bagus!

Yang paling menarik dari Biru, adalah matanya. Tajam dan dalam namun tidak kelam. Mengingatkan aku pada samudra yang luas dan (tentu saja) biru. Sayang warnanya bukan biru tapi cokelat gelap. Ups, maksudku bukan sayang. Mungkin cokelat gelap itulah yang membuat Biru… terlihat indah.

Lagaknya yang angkuh dan ketus pasti bukan tanpa sebab. Aku ingin tahu, apa yang menjadikannya begitu.

Biru, Biru, aku ingin tahu semua hal tentangnya. Aku ingin mengintip apa yang ada di kepalanya. Kepala yang diselimuti rambut ikal lembut itu mengingatkan aku pada gumpalan awan. Oh, ya ampun, lucu sekali Biru yang kuceritakan ini.

Aku ingin tahu, mengapa dia sepertinya… tahu siapa aku?

Bicara atau hanya membayangkannya membuat aku rindu pada Biru. Mungkin aku harus ke rumahnya yang berwarna biru itu.

Tunggu sebentar, kurasa aku mendengar pintu rumahku diketuk. Manusia kah? Atau bukan?
Aku mulai begidik.
Aku merasa sedikit gemetar.
Lalu…

“Orange! Kau di dalam? Tolong bukakan pintu, aku kedinginan

Ia berdiri di sana. Di atas kain pembersih kaki milikku. Lihatlah, dia benar-benar menggemaskan!

“Jangan mematung sambil mencatat begitu. Aku butuh minuman hangat secepatnya”

“Ah, maaf. Kebetulan aku sedang menjerang sari jeruk. Mau?”

“Boleh, terima kasih”

Kau dengar apa yang dia ucapkan? Dia bilang terima kasih! Bukankah dia benci kata yang kucintai itu?
Apakah itu artinya…

“Apa sih yang kau tulis?”

“Bukan apa-apa. Hanya catatan belanja. Ada perlu apa ke sini? Tidak biasanya”

“Mau minta minum”

“Sungguh?”

“Ngg, dan aku lihat ada pelangi di ujung sana”

“Yuk, lihat!”

Seandainya saja Biru tahu kalau aku…

-orange-

Surat Kedua Buat Abu

"Masih lama ya?
Suratku yang kemarin, sudah sampai belum?
Kok aku belum menerima balasan?

Well,
Aku tahu pembukaan suratku tidak menyenangkan. Bodoh seperti anak TK yang menulis surat untuk neneknya. Oke, ayo lompati saja bagian ini

H-U-P

Apakah terlalu lama bagimu?Apa kamu keberatan menemui aku lagi? Kamu bisa, kan, mengubah pelangi itu jadi perosotan, alih-alih eskalataor?

GRR...

Aku tahu aku mulai mengesalkan. Aku tahu. Aku tahu. Aku tahu.

ABU,
Kamu harus tahu, menunjukkan negerimu bisa berakibat begini parahnya. Lama kelamaan, aku jadi sangsi apakah kamu nyata atau tidak.

Aku yakin kunjungan ke 'dunia' mu itu nyata. Tapi, fakta bahwa aku masih hidup normal dan tak ada tanda-tanda keberadaanmu sampai saat ini, mungkinkah kamu bahkan tidak pernah ada?

Aku berusaha meyakinkan ayah, ibu, kakak, teman-temanku. Satupun tidak ada yang percaya padaku. Aku tetap meyakinkan mereka, sampai mulutku berbusa. Tapi sia sia.

Sekarang, kurasa aku harus meyakinkan diriku sendiri.

Sepertinya, aku memang gila dan tidak waras. Seperti yang mereka bilang"

Kali ini aku ogah ogahan melipat kertas surat. Tanpa repot-repot memasukkannya ke dalam amplop, aku melemparkannya ke tempat sampah.

Jumat, 29 April 2011

Biru - Orange


“Halo. Apa kabar?”

“Er, baik. Kamu terasa… asing”

“Oh, salahku. Aku lupa mengenalkan diri.
Hai, aku Orange.
Salam kenal.
Senang bertemu denganmu.
Dan, siapa namamu?”

“Aku Biru.
Kamu bicara terlalu banyak untuk orang yang baru saja memperkenalkan diri”

“Dan kamu bicara terlalu sedikit untuk orang yang baru saja berkenalan”

“Ng?
Sejak kapan kamu tiba?”

“Cukup lama untuk melihat wajahmu saat berkelana ke alam mimpi”

“APA?!”

“Kamu lucu juga kalau lagi ngiler”

“Sialan.
Kenapa tidak kamu bangunkan?
Kamu sengaja ingin bikin aku malu?
Iya?
Dasar tidak sopan”

“Santai dong,
Tadi dengkuranmu keras sekali.
Aku tak mungkin membangunkan orang yang ngorok sedahsyat itu”

“Oh sudahlah.
Bisakah kita lewati saja pembicaraan konyol ini?”

“Kamu yang konyol, Tuan Biru,
Lihat rona wajahmu.
Semburat begitu”

“Berhenti menahan senyum begitu!
Memangnya apa yang menggelikan?
Lagipula ini bukan rona, hanya bintik-bintik”

“”Bintik-bintik?
Belajar berkelit itu tidak mudah lho.
Butuh waktu seumur hidup.
Terutama berkelit dariku”

“Tutup mulut besarmu, Nona Banyak Bicara,
Sejarang, jika kamu tidak keberatan,
Tinggalkan aku.
Aku ingin sendirian”

“Sayangnya aku keberatan”

“Keras kepala”

“Aku anggap itu pujian. Terima kasih”

“Huh, pemuja diri sendiri”

“”Begitulah mereka memanggilku”

“Baik, baik, kamu dapat perhatianku.
Sekarang, apa maumu?”

“Tidak mau apapun.
Aku Cuma ingin begini saja.
Duduk, dihembus angin…”

“Bah! Lagakmu seperti penyair kelas tinggi saja”

“Memang”

“……………………..”

“Mengapa diam?”

“Aku hanya tak tahu harus berkata apa.
Kadang, diam adalah hal terbaik yang harus kau lakukan”

“Ya.
Diam bukan berarti kau tak bisa bicara.
Diam artinya menunggu saat yang tepat, untuk bersuara”

“Mungkin juga itu yang sedang, pernah, dan akan kulakukan”

“Menurutmu begitu?”

“Jangan mulai melebarkan mata jadi bulat begitu.
Tingkahmu membuat aku mual”

“Terima kasih”

“Kenapa kamu selalu mengucapkan terima kasih?”

“Menampik pujian itu tidak baik.
Sebelas dua belas dengan menolak rezeki”

“Tidak ada kata lainnya?
Aku bosan mendengarnya.
Dua kata yang paling kubenci adalah maaf dan terimakasih”

“Ada, banyak.
Hei, kau membenci kata yang paling kucintai”

“Sok manis”

“Cacian adalah pujian yang dikasarkan”

“”Teori palsu. Tak beralasan. Berkacalah”

“Aku selalu berkaca. Lihat, aku berkaca lewat mata milikmu”

“Kau bercanda. Tak pernah ada kamu di mataku”

“Jangan bohong. Kalau bohong nannti giginya ompong”

“”Aku rajin menggosok gigi, kok. Lagipula aku tidak suka makanan manis”

“Sayang sekali. Padahal aku berniat mengajakmu minum teh”

“”Apa kudapannya?”

“Roti madu dan the jeruk, favoritku”

“Kurasa aku bisa mengaturnya. Ayo berangkat!”

“Tapi apakah perlu menggandengku begini?”

“Ya… Supaya kamu tidak terbang dan lepas lagi”

“Darimana kau tahu?”

“Sssssttt, sudahlah, roti dan tehnya menunggu”

“Benar juga. Yuk, rumahku yang warna oranye”

“Diam. Aku sudah tahu dari dulu”


-orange-

Kamis, 28 April 2011

Sepeda, Motor, dan Jalanan

Hari 1

Aku hampir saja jatuh ke genangan air sisa hujan semalam.  Motor sialan. Nggak liat apa bajuku masih bersih mengkilat begini? Aku kan ingin tampil sempurna di hari pertamaku. B 1770 GG. Untung nggak aku kutuk jadi monyet. Huh.


Hari 2

Plat nomor ini! Ternyata yang punya motor sial kemarin sekolah di sini juga? Awas ya, kalo ketemu. Bakalan aku cekik sampai mati.


Hari 5

Cuma keliatan punggungnya. Rasanya pengen ngelempar sandal hak punya Bu Tere, guru kimia yang gaul abis – selalu pake stiletto buat ngajar, ke punggung pemilik motor setan itu.


Hari 12

“Bruk,” bukuku jatuh dari pelukanku, berserakan di anak tangga yang terakhir. Senior-senior yang berdesakan mulai ngomel. Secepat kilat aku memunguti semuanya. Tunggu dulu, ada yang kurang. Bagus, buku kumpulan tulisanku hilang. Setan. Buku itu lebih kusayang daripada nyawaku sendiri.

“Nih,” sebuah tangan yang berbulu halus namun cukup lebat dan berwarna kuning langsat mengulurkan buku kecil yang aku maksud, diam-diam kuberi nama buku ini Lolo. Kurebut. Dia terkesiap. Jaket ini...sepertinya begitu familiar. Akhirnya aku bertatap muka dengan dia. wajahnya begitu mempesona. matanya yang begitu indah berlapis kaca mata berbingkai hitam. hidungnya begitu mancung bak made in arabia, tapi aku yakin dia bukan orang arab atau jangan-jangan dia Bule. ya dia, pemilik motor yang nyaris membuat aku celaka. Tanpa banyak bicara, si pemilik motor dan yang juga membantuku memunguti buku-bukuku yang jatuh berserakan tadi, berjalan menjauh, meninggalkanku yang masih terdiam menerima buku darinya.


Hari 13

Gagal. Rencanaku mencekik bajingan tengik itu gagal. Mana tahu aku kalau dia seganteng itu? Mana mungkin aku tega menyiksanya sesuai skenario yang aku siapkan? Dengan helm pembalap miliknya, jelas wajahnya tertutup rapat, tersembunyi. Seandainya saja nih, aku mencekik dia, mustahil dia mati. Pasti aku yang kehabisan napas saking gugupnya. Bukankah mencekik itu bisa dibilang cukup intim?


Hari 16

Semuanya jadi aneh sekarang. Setiap aku bertemu dia, rasanya ganjil. Nggak nyaman sama sekali. Aku jadi sibuk mikirin apakah rambutku rapi apa enggak, bajuku rapi atau malah mirip preman sekolah, tali sepatuku terikat atau berleleran. Oke, fine. Senjata makan tuan. Kutukan berbalik menyerang diriku sendiri. selalu ada garis tipis pemisah benci dengan cinta. Dia mulai jadi penyiksa, alih-alih aku.


Hari 18

Kamu tahu rasanya disambar petir di siang bolong? Yang bikin istilah itu pasti tahu apa yang kurasakan saat ini. Well, ternyata boncengan motornya hari ini nggak kosong. Aku lihat sesosok makhluk yang cantik, dan juga angin yang menerbangkan rambut coklat lembutnya. Tertawa bahagia. Dia juga. Jangan lupakan aku, aku juga tetawa. Tertawa hampa.


Hari 19

Aku minta dibelikan sepeda. Biar nggak perlu jalan kaki lagi. Selain capek dan panas, aku nggak mau terlalu lama di jalanan. Jalanan membuatku ingat sama dia, yang sudah punya dia.


Hari 20

Bahagianya, sepedaku sudah datang, lho. Besok aku sudah bisa ‘gowes’ ke sekolah. Yay me!


Hari 21

Hidup dan takdir memang kejam. Tak bisa membiarkan aku senang sebentar saja. Lagi asyik mengayuh, eh dia lewat. Gugup, aku mendarat manis di tepi selokan. Sepedaku tersayang? Mendarat lebih manis tepat di dalam selokan.


Hari 34

Nafsu makanku langsung hilang. Semangkuk bakso hangat yang tadinya menggiurkan itu, kini seakan hambar. Aku melihatnya lagi. Mereka duduk berhadapan di meja sudut kantin.

Aku kesal, kenapa mereka harus jadi pasangan? Meski sakit hati, kuakui mereka sangat serasi.


Hari 35

Ketemu lagi. Di perpustakaan. Belajar berdua. Sama-sama rupawan dan cerdas, perfect!


Hari 39

Sudahlah, tak ada gunanya aku menghindar  terus. Takdir, entah kenapa selalu membuat aku melihat mereka. Mulai saat ini, aku harus rela melihat tawanya saat bersama dia.

Ingat kan, kalimat sekumpulan pecundang? Kalau dia bahagia, aku juga ikut bahagia.


Hari 50

Aku senang lewat jalan ini, sepi. Bisa agak santai tiap lewat sini, pemandangannya juga lumayan. Tunggu, jalanannya nggak kosong. Tidak. Ada motor terguling. Tubuh terguling di sebelahnya. Aku takut. Bagaimana kalau orang itu – siapapun dia- tak bernapas lagi?

Kudekati.

Jantungku serasa berhenti.

“Bangun!” aku mengguncang. Aku harus bergerak cepat.

Dia. Harus. Tetap. Hidup.

Aku mengayuh sepedaku kuat dan kencang. Ngebut cari bantuan. Dapat. Dia dibawa ambulans, aku ikut. Sepedaku dan motornya, terlupakan.


Hari 51

Dia belum sadar. Banyak selang di tubuhnya. Aku takut. Ibunya menangis terus, ayahnya berusaha menguatkan ibunya walaupun tampak dimatanya kekhawatiran yang mendalam, adiknya ikut-ikutan, aku diam. Aku duduk di pojokan. Tubuhku terasa kikuk. Hatiku terasa kosong dan berlubang. Hebatnya, aku tidak meneteskan airmata. Sedikitpun. Mengherankan ya, padahal biasanya lihat sinetron kacangan pun aku bisa sampai berlinang linang.


Hari 52

Belum bangun juga dia. Kuintip lewat kaca jendela, dia masih bermimpi. Ayolah, buka matamu. Jangan sampai sepasang mata itu tertutup terus. Tuhan, aku mohon.


Hari 55

Tiba-tiba saja keluarganya jadi mengenalku. Baru sekarang aku menyadari betapa miripnya dia dengan ayah ibunya. terlebih lagi dengan ibunya. Ibunya sering menceritakanku kebiasaannya yang suka membawakannya terang bulan setiap pulang malam, berusaha menyogok agar ibunya tidak marah. dan Ayahnya pun tidak sungkan mengajakku makan bersama dengan mereka sekeluarga. Aku merasa menjadi begitu dekat dengan keluarganya. Terbiasa? Mungkin.


Hari 70

Matanya terbuka. Bergerak gerak seakan menyimpan sesuatu yang menuntut dikeluarkan. Sesak di dalam tubuhku akhirnya tumpah, lewat mata.

“Ayah, Ibu, Dino, “ lemah dia bicara. “Dan kamu…siapa?”

Cuma gelengan yang kuberikan.

“Aku senang kamu bangun,” lanjutku. sesaat kemudian dia menutup matanya lagi dan ayah ibunya segera memanggil dokter. Lalu aku meminta diri dan memutuskan untuk pergi.


Hari 73

Sudah tiga hari sejak dia sadar. Sudah tiga hari aku tak mengunjunginya. Aku cuma ingin tahu bagaimana kabarnya.


Hari 80

Sms masuk. Ibunya? Aku ingat memberikan nomor handphone ku pada wanita itu. Ada apa ya?

“Bara mungkin lumpuh”

Tak ada tanda baca. Datar.


Hari 81

Kuputuskan untuk ke rumah sakit. Setidaknya mengintip sedikiiit saja atau say Hi barang sebentar. Setelah itu pulang.

Aku berjinjit sedikit, gadis itu ada di dalam kamar. Menatap Bara, dingin. Dia membalas tatapan itu dengan nanar, bara menangis.

“Aku nggak bisa sama kamu lagi. Dengan kondisimu yang kayak gini, kita nggak mungkin bersama, ” Tanpa selamat tinggal, gadis bernama Ariel itu berdiri dan kemudian meninggalkan bara yang sedang menutupi wajahnya.

Aku tak percaya pada apa yang kudengar. Aku begitu geram sampai tak sadar kakiku melangkah maju dan menghadang dia yang cantik itu.

“Kamu kejam!,” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Ariel yang tidak mengenalku melemparkan tatapan sinis dan kemudian pergi meninggalkanku yang masih terpaku di depan pintu kamar rumah sakit bara. Aku putuskan untuk kembali pulang, ini bukan saat yang tepat untuk berbicara dengannya.


Hari 82

Apel fuji. Manis dengan sedikit asam, gurih bila digigit. Kuharap bisa menghibur hatinya, meski sedikit. Aku sedang mengupaskan apel tanpa memecah keheningan. dia masih terlihat begitu kecewa dengan Ariel. bukan saat yang tepat untuk membuka obrolan. aku tidak mau hanya mendapatkan anggukan atau gelengan atau bahkan dia membuang muka.


Hari 83

Aku menjenguknya lagi. Meskipun kami tak saling bicara. Aku cuma ngobrol dengan ayah atau ibunya, dan menemani adiknya bermain.


Hari 85

“Aku kangen udara luar.”

Kudorong kursi rodanya menyusuri jalan setapak taman rumah sakit. Kami tetap diam. Sampai akhirnya dia membuka mulut.

“terkadang aku masih memikirkannya.”

aku langsung menangkap maksutnya, ariel.

“Iya, aku tahu”

Lalu hening yang panjang tetap menemani kami setelahnya.


Hari 90

Dokter bilang, dia bisa berjalan setelah melewati serangkaian terapi. Ayah ibunya tersenyum. Aku dan adiknya bersorak.


Hari 100

Untuk pertama kalinya, kami ngobrol dengan wajar.Bermula dari hal konyol, mengomentari serial TV yang kami benci. Hatiku mendadak dipenuhi bunga-bunga kecil yang bermekaran. Hari-hariku tidak pernah seindah ini.


Hari 110

Ajaib. Dia muncul lagi di sekolah. Sehat, normal, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Entah kenapa aku juga mencoba bersikap seperti biasanya, seolah tak kenal dia. Saat berpapasan dengannya aku lebih memilih memutar jalan atau terus menerobos keramaian yang ada di belakang punggungnya tanpa melihat ke arahnya. Entah dia menyadari atau tidak.


Hari 115

Aku sial lagi. Ban sepedaku bocor. Bukan pekerjaan mudah, kan, menuntun sepeda ketika matahari sedang giat bercahaya?

“Kenapa?” ada yang mendekat dan bertanya. suaranya...suara yang sudah lama ingin aku dengar.

“Bocor,” langkahku otomatis makin cepat.

“Mau bareng?”

“Sepedaku? Diseret? Dipangku?”

Dia cuma tertawa. Ujungnya, dia malah menuntun motornya di sampingku. Kalau ada yang lihat, pasti super aneh. Aku cuma bisa berdoa, semoga dia tuli jadi nggak bisa dengar degup jantungku yang semangat berdetaknya terlalu tinggi. Ini rahasia ya, aku bersyukur tukang tambal ban masih jauh sekali dari sini.


Hari 116

Setelah bertengkar kecil dengan Ibu karena aku tidak mau harus menuntun sepedaku lagi, aku takut sepedaku bocor lagi mengingat kata pak tambal ban bahwa ban sepedaku bagian dalam sudah tipis, kuputuskan hari ini jalan kaki saja. Di gerbang, motor itu gagah berdiri, dengan penunggangnya yang nggak kalah keren.

“Nggak bawa sepeda?”

“Kelihatannya?” Sok cuek. Padahal dalam hati, duh, ada yang menggebuk jantungku dengan ritme lagu metal. kamu membuat hatiku mengalami kontraksi ventrikel prematur. berat memang, baru baca kemarin di buku biologi.

“Bareng?”

“Kalo ditraktir baru mau,” gini ya, otaknya orang yang nggak fokus. Bikin malu!

dia memamerkan senyum andalannya, “Deal”


Hari 120

Aku diam. Dia diam. Kami sama-sama diam. Aku menggenggam kalung. Bandulnya sepeda.

Tak perlu kata-kata. Kami sudah saling mengerti.

Sepedaku, motornya, dan jalanan ini. Mereka bisu, tapi aku tahu merekalah dalang kisah ini.


-orange, edited by donat-

Rabu, 27 April 2011

Untitled

Dit, sorry akhir-akhir ini sudah bikin kamu benci sama aku. Kata-kata yang kamu lontarkan di lobby kemaren benar kok. Tapi, kenyataannya aku bersikap gitu, karena aku juga baru sadar kalo aku sayang sama kamu. Tapi, tolong cabut kata-kata 'sampai mati juga aku nggak mau sayang sama patung macam kamu' ya? Aku takut kalau kamu nanti menyesal. Karena dalam waktu dekat, aku bakal bikin kamu jatuh cinta sama aku. Aku akan ngelamar kamu. Aku bakal buktikan kalau kamu salah, aku bukan patung. Karena patung nggak bakal bisa jatuh cinta sama kamu.

***

Aku bukan tipe laki-laki yang selalu ribut cari pacar kesana-kemari. Karena toh prioritasku bukan itu. Aku lebih pemikir dibandingkan laki-laki sampah yang sudah bertebaran di Indonesia. Bukan laki-laki yang rela buang-buang uang demi mendapatkan cinta dari perempuan. Bukan.

Tapi bukan, aku bukan gay. Aku juga pernah, terjerat dalam komplikasi cinta labil di bangku SMP. Namanya, Narita. Kami putus baik-baik. Setidaknya, menurutku, itu baik-baik.

"Alfa, kamu dimana?"
"Di hatimu, Ta. Tapi aku bosen, kita putus ya?"

Narita bahkan tidak membalas smsku. Itu tandanya tak ada protes berlebihan dari pihak kedua. Ini berarti putus baik-baik, kan?

Apalagi sejak aku menginjakkan kaki di sekolah menengah. Perempuannya tidak ada yang se-spesial Narita. Jadi, buat apa ikut bersaing dengan lelaki-lelaki hidung belang lainnya. Duduk sajalah, nanti pasti banyak perempuan yang datang padaku.

***

"Alfa, boleh minta saran nggak?"

Dia Dita. Kelas sebelah. Darimana aku kenal? Teman SD. Sebelumnya memang kami sering ngobrol. Bertukar pikiran. Dan tampaknya dia tertarik dengan cara berpikirku. Tapi cara berpikir dia bagiku, tidak secerdas cara berpikir Narita. Tetap, perempuan sekolah ini tidak ada apa-apanya dibanding Narita.

Kenapa aku masih sering membanding-bandingkan perempuan dengan Narita? Karena, memang aku masih sayang. Tapi, aku tidak tega melihatnya harus bertahan menghadapi kedinginanku. Melihatnya selalu menangis, dan berharap akan perhatian lebih. Tidak.

"Apa?"
"Soal pembicaraan terakhir kita, minggu lalu."
"Oh, iya. Jadi begini, Dit. Kalau menurutku..."

Pembicaraanku dengan Dita selalu menyenangkan. Waktu seakan-akan berlari cepat setiap kali kuhabiskan sore dengannya yang selalu menggebu-nggebu melawan argumenku.

Dita ini perempuan yang hebat, seharusnya. Tapi caranya dia bertindak, bisa-bisa membuat semua orang enggan bekerja dengannya. Terlalu rapuh. Berbohong ke Dita sudah seperti menulis abjad. Gampang. Terlalu mudah diinjak-injak. Berbeda dengan Narita.

Awalnya, kupikir dia ada perasaan denganku. Sampai suatu hari, ku dengar dia jadian dengan teman sekelasku.

"Dita, selamat ya. Lain kali, kalau kita ngobrol, harus izin dulu nih."
"Apa sih. Berlebihan kamu. Doni kan temen sekelasmu. Masa dia nggak ngerti kalo aku sering banget ngobrol sama kamu."
"Haha iya, ngomong-ngomong gimana proyek panti asuhan-mu?"

Lama. Lama sekali dia membalas smsku. Biasanya tidak selama ini.

Ah, iya. Lagi sibuk pacaran, mungkin. Maklumlah. Pasangan baru.

***

"Alfa.."
"Kenapa?"
"Pagi ini, aku ada ide baru soal proyek yang waktu itu aku ceritain kamu."
"Oh ya?"
"Iya, gini deh, uang yang selama ini aku targetkan, harus 85% di investasikan. Sisanya dibuat keperluan-keperluan dasar yang mungkin dibutuhkan."
"Begitu ya? Gimana menurut Doni?"
"Kok Doni?"
"Iya. Doni."

Aku sudah mulai kehilangan semangat membalas sms Dita. Entah kenapa.
Bahkan, obrolan sore kami tidak semenyenangkan dulu. Hampir setiap kali kuingat Doni, membuatku malas dan mulai menjawab ketus semua kata-kata Dita. Tapi sekalipun Dita menjadi korban kedinginanku, dia tak pernah memarahiku. Bahkan, dia seperti orang yang lebih memahamiku daripada diriku sendiri kali ini.

***

"Dita."
"Apa? Tumben."
"Dita dita.."
"Dita, kok lama."
"Dita"

Apa ini. Bahkan 2 menit lebih aku sudah tak sabar menantikan balasan sms dari perempuan ini. Nggak ini bukan apa-apa. Cuma sekedar rindu akan waktu-waktu yang aku luangkan mendengarkan ceritanya.

***

Aku hanya membayangkan, pernahkah Dita diam-diam mencintaiku? Pernahkah, di sela-sela waktu kami berbicara, mengagumi wajahku, seperti aku mengaguminya? Pernahkah dia cemburu akan Narita, seperti aku cemburu pada Doni?

Pernahkah Dita berjuang mati-matian mengeluarkan aku dari pikirannya? Membuat larangan-larangan kecil tentangku di pikirannya? Berpikir topik apa yang menarik sebagai bahan obrolan kami sebelum bertemu? Membayangkan bahwa semua keketusanku membuatnya sempat, bersedih, atau menangis? Menangisi hal yang semu di pagi yang tak biasanya.Seperti yang aku lakukan?

Seperti semua imajinasi tentang kita yang terbangun di setiap mimpiku.Tapi tak ada kata "kita" dalam kisah ini. Layaknya semua mimpi hanya menjadikanku bayangan yang bahkan tak menyadari kepada siapa ia jatuh cinta. Memimpinku untuk jatuh terlalu dalam.

Aku hanya berharap, aku tak sendirian.

***

"Alfa, kamu kenapa sih? Kamu selalu ketus setiap kali aku tanyain hal-hal yang justru penting buat aku. Tapi setiap kamu butuh? Berapa menit nggak aku respon, kamu sudah marah enggak karuan. Semua-muanya dihubungin sama Doni. Penting?"

"Kamu berlebihan. Aku biasa aja. Kamu harusnya tau aku."

"Aku tau kamu! Aku tau banget! Dan ini bukan kamu biasanya. Sedingin apapun kamu, secuek apapun kamu, sejahat apapun kamu, kamu nggak bakal pernah setega ini sama aku. Diemin aku. Apalagi sampe soal London."

"Soal aku berangkat ke London? Aku hanya nggak cerita, kan?"

"Terserah kamulah! Aku tau selama ini aku cuma perempuan bodoh yang selalu ganggu waktu senggangmu. Tapi kenapa kamu nggak pernah cerita kalo kamu bakal pindah ke luar negeri? Aku selalu ngerti kalo semua hal penting bagiku kamu anggap kecil. Semua hal yang aku ributkan, ternyata cuma hal kecil yang nggak penting buat kamu. Menurutku pisah sama kamu itu juga berat buat aku. Tapi aku yakin, pisah sama aku buat kamu adalah hal yang nggak penting. Masih penting, Narita? Iya, Kan?"

"Buat apa kamu bawa, Narita? Doni sana, kamu rawat."

"Aku putus sama Doni, fa. Aku putus karena selama aku pacaran sama Doni, intensitas aku mikirin dia dan mikirin kamu, jauh lebih besar mikirin kamu. Tapi ternyata emang, semua perempuan nggak ada apa-apanya dibanding Narita. Meskipun, aku sayang sama kamu. Udah mati rasanya! Sampai mati juga aku nggak mau sayang sama patung macam kamu!"

***

Cinta selalu mempunyai cara untuk kembali pulang

"emily."

Aku selalu menyukai saat kamu memanggil namaku, terdengar begitu merdu dan sangat lembut. Aku masih sangat ingat saat pertama kali kamu memanggilku di tengah kantin SMA kami, saat itu kami masih kelas 1.

"EMI, EMIL, EMILY!."
aku menghentikan langkahku dan berbalik. sekarang aku sedang berdiri di depan seorang anak laki-laki yang tingginya lebih sedikit daripada tinggiku dan tidak seberapa berisi. ya, aku sedang berdiri di depanmu. rambutmu yang kamu pangkas pendek itu terlihat berkeringat dan kumal, dan saat melihat mimik wajahmu yang menunjukkan kegugupan, aku hanya berusaha menahan tawaku dengan tersenyum, "Em aja."
"oya em, aku mau minta tolong, aku nitip uang buat hendra ya."

setelah aku mengangguk dan menerima uang itu, kamu segera pergi meninggalkanku dengan terburu-buru, aku baru sadar

"nama kamu siapa?," teriakku. Aku tidak melihatmu berbalik, aku hanya melihat punggungmu yang semakin hilang di tengah keramaian

kemudian aku tersadar akan lamunanku, menoleh ke arahmu yang memanggilku dan akupun terperangah

"pas kan?,"

aku masih tidak bisa mengedipkan mataku. malam ini kami akan makan malam di tempat pertama kalinya kamu mengungkapkan perasaanmu. hari ini tepat 7 tahun kita bersama. setelah banyak arang melintang,akhirnya kami bisa bertahan selama ini. kamu mencoba membenarkan jas yang kamu kenakan dan aku benar-benar takjub.memang selama ini aku telah menyadari betapa mempesonanya wajahmu itu tapi dengan menggunakan stelan jas dan kamu berputar-putar di tempat sambil memamerkan senyuman khasmu membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Rasa yang sudah begitu lama tidak terjamah akhirnya kembali hidup. Sudah lama aku tidak merasakan debaran kencang saat bersama denganmu, mungkin di awal kita bersama aku selalu merasakannya tapi lambat laun karena terbiasa bersama denganmu akhirnya rasa itu menghilang. BUMM.

"em, pantes ngga? apa jelek ya? kamu mau aku ganti?."

aku mengedipkan mataku sambil menggelengkan kepala,
"ngga perlu, cakep punya deh."

rambut yang biasa kamu buat acak-acakan, malam ini kamu tata begitu rapi. kamu buat model rambutmu seperti kita pertama kali bertemu dan sepertinya kamu memberi terlalu banyak gel, lagi-lagi aku menahan tawa seperti dulu.
aku ingat saat kamu wisuda, ya saat kita wisuda. kamu memberikan terlalu banyak gel di rambutmu sehingga terlihat begitu klimis. aku ingat hendra membisikkan sesuatu padaku,

"bintangmu selalu kelihatan konyol disaat yang penting."

hendra bisa dikatakan adalah mucikari kami, maksutku mak comblang. setelah aku memberikan uang itu dulu kepada hendra, aku menanyakan siapa nama kamu dan hendra malah menggodaku,

"namanya bintang, dari MOS dia udah naksir kamu, berani-beraninya dia yang culun gitu naksir kamu, mending kamu sama aku deh."

"udah deh hen, ngomong apa sih kamu, kebiasaan deh tuh mulut. kalo naksir aku ngapain dia pake berani nitip duit ini ke aku?"

"aku tantangin dia, aku bilang aja sebelum aku duluin dapetin kamu daripada dia hahaha eh sakit em, tapi beneran, dia naksir kamu em.sampe rela ga jajan berapa hari tuh anak buat beli gel, biar rambutnya keliatan rapi dikit."

aku melepaskan cubitanku dari lengan hendra. ternyata itu yang membuat rambutmu jadi klimis. dari SMP aku sudah biasa menghadapi anak laki-laki yang selalu mengejar-ngejarku. mereka semua terhitung anak laki-laki, yang menurut teman perempuanku, terkenal dan banyak yang menyukai. sayangnya, aku tidak pernah melihat ke arah mereka. ya, aku belum pernah berpacaran. tapi aku pernah menyukai seseorang saat SMP tapi perasaan itu tidak bertahan cukup lama karena dia lebih memilih sahabatku sendiri.

"sayang, kamu dari tadi mikirin apa sih? ko aku tanya kamu jawabnya lama banget, kamu sakit?"

lagi-lagi aku terhanyut dengan ingatan masa lalu kami.

"ngga ko, tang." bintang berdiri diatas lututnya sambil menatap mataku dalam-dalam. bahkan saat dia berdiri dengan lutut,tingginya jauh lebih tinggi daripada denganku yang sedang duduk. aku pikir, dia akan melamarku. sudah 7 tahun kami bersama dan kedua orang tuaku sudah menanyakan kapan bintang akan melamarku dan kalimat yang terucap dari bibirku adalah, "bintang harus mikir mateng-mateng, ma, aku juga harus mikir mateng-mateng, aku gamau cuman jadi beban buat bintang."

"kamu yakin kamu ga kenapa-kenapa? kita bisa batalin makan malamnya kalau kamu sakit."

lega. pikiran bintang akan melamarku pun menghilang. antara lega dan sedih. sedih? sebenarnya siapa sih perempuan yang tidak pernah memimpikan bahwa suatu hari dia akan dilamar oleh kekasih yang sangat dia cintai? aku juga memimpikannya, tapi aku selalu mencoba menekan perasaan ini. Dengan melihat kondisiku sekarang yang berbeda dengan dulu, saat bintang pertama kali jatuh hati kepadaku, aku harus memikirkannya dua kali.

"gapapa tang," jawabku sambil tersenyum. dia mengangguk kemudian berdiri dan berjalan menuju belakangku kemudian mendorong kursi rodaku. malam ini aku menggunakan pakaian terbaikku, dress yang aku siapkan beberapa bulan yang lalu. dress yang dipilih oleh bintang.

saat bintang menggendongko menaiki mobil, bintang membisikkan di telingaku sesuatu sambil mengecup pipiku.

"kamu cantik banget, sayang."

perjalanan menuju restoran, aku lebih banyak diam. mengingat kejadian 3 tahun yang lalu, saat mobil itu menabrak mobil yang aku kendarai. malam itu aku tengah bertengkar hebat dengan bintang, aku melihat bintang mencium perempuan lain. tidak kuat menahan emosiku yang meluap, aku memutuskan untuk pulang. saat itu tengah hujan badai, bintang sudah melarangku untuk pulang, dia berkali-kali menarik tanganku kasar untuk tetap tinggal di rumahnya selagi menunggu hujan reda. aku yang keras kepala pun tidak mendengarkan dan memilih untuk memasuki mobil. aku memacu mobilku dengan kecepatan 80 km/jam di tengah badai. aku masih dikuasai amarah, aku tidak melihat datangnya mobil di arah yang berlawanan denganku. terakhir yang aku ingat adalah sorot cahaya lampu mobil yang menyilaukan dan suara hujan yang begitu keras di telingaku. aku dilarikan ke unit gawat darurat.

aku terbangun beberapa hari setelah kecelakaan dan yang ada disampingku saat itu adalah mama. aku melihat Bintang yang tertidur di sofa samping tempat tidurku. aku mencoba menggerakkan badanku dan rasanya ada yang aneh. selain selang-selang dan perban di kepala, aku tidak bisa merasakan kakiku. aku mencoba mengangkat kakiku dan benar-benar mati rasa. mama mulai terlihat bingung dan menangis, bintangpun bangun.

"ma, kenapa kaki em ngga bisa digerakin? ma? emily kenapa ma?"

tangis mama semakin pecah, dan aku mulai menangis. papa yang baru masuk kamar langsung terdiam di depan pintu yang terbuka, bintang menghampiriku.

"sayang, tenang, kita bisa melewati cobaan ini ko....apapun yang terjadi masih ada aku disini," bintang menggenggam tanganku erat. aku mulai menyadari kondisiku, aku lumpuh.

tangisku lah sekarang yang pecah, papa memeluk mama yang menangis dan bintang mencoba menenangkanku. aku tidak bisa menerima. spontan aku mendorong bintang dan mengusirnya.

"mending kamu pergi tang! aku gamau lihat muka kamu lagi! kita udah bener-bener putus!."

aku tidak yakin dengan ucapanku sendiri, aku percaya bahwa bintang tidak berselingkuh tapi kondisiku sekarang yang harus melepaskan bintang. bintang harus menemukan gadis lain yang normal, yang bisa menjadi istri yang sempurna untuknya. bintang tidak mau pergi, nadaku semakin meninggi, aku melemparinya dengan bantal, selimut, apapun yang ada didekatku. dan dia akhirnya pergi meninggalkan ruang rawatku sambil menghapus air yang berada di sudut matanya.

6 bulanan aku tidak mendengar kabar dari bintang dan 6 bulan juga aku terpuruk di atas kursi roda. mama papa sudah mengajakku berobat ke segala dokter bahkan sampai ke luar negeri tapi sayangnya, hasilnya nihil. sampai di saat ulang tahunku ada sebuah kiriman, kado dari bintang. aku membuka kado itu dan berisikan sebuah buku. aku beranikan diri untuk membuka buku itu, di dalamnya tertulis tanggal 26 juni. ini di tulis 3 hari yang lalu.

emily, selamat ulang tahun. 6 bulan ini adalah masa-masa terberat untukmu, untuk kita. aku tidak mengerti kenapa kamu harus memutuskanku di saat kamu membutuhkanku. aku yakin, kamu menyuruhku pergi bukan karena aku berselingkuh. aku tidak pernah berselingkuh, em. aku selalu mencintaimu, aku selalu milikmu. tapi kenapa? kenapa kita harus berakhir dengan cara seperti ini? apa karena kondisimu sekarang? em, aku selalu menerimamu apa adanya. aku selalu menginginkanmu bagaimanapun kondisimu. beritahu aku em, aku harus melakukan apa untuk meyakinkanmu bahwa kamu adalah pilihanku? bagaimana untuk membuatmu kembali kepadaku? aku yakin bahwa kamu juga masih mencintaiku seperti dulu. salam buat mama dan papa.
still yours,
bintang 

air mataku meleleh. apa aku seegois ini? kenapa aku tidak memikirkan perasaan bintang? tapi ini yang terbaik untuk bintang. dia pantas mendapatkan yang lebih baik. air mataku semakin mengalir deras. tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan mama masuk sambil membawa kentang dan telur. sudah 6 bulan juga aku tidak nafsu makan, badanku jauh lebih kurus daripada 6 bulan yang lalu. setelah mama meletakkan makananku di samping kasur, mama menghampiriku.

"em, bintang sangat mencintaimu, nak, coba kamu pikirkan lagi, mama yakin kamu masih tidak bisa melupakannya."

aku memeluk mama, begitu erat. mama selalu pengertian semenjak aku jatuh sakit. sebelumnya mama yang keras kepala dan egois, sekarang menjadi mama yang lembut dan pengertian. aku menangis dalam pelukan mama.

"ma, nanti malem anterin em ke dante ya, em udah lama ngga kesana."

malamnya, mama benar-benar mengatarkanku. setelah membantuku menaiki kursi roda, mama mendorongku menuju tempat duduk kesukaanku dan bintang. tapi sayang, disana sudah ada yang menduduki. aku meminta mama mencari tempat lain, belum menemukan tempat lain tiba-tiba pria yang duduk di tempat itu menoleh ke arah kami. aku menahan nafas.

"bintang."

lidahku tercekat, bintang berdiri dari tempatnya duduk dan bersalaman dengan mama.

"gimana kabar tante? udah lama ngga ketemu. kebetulan banget bisa ketemu disini," ucap bintang ramah. aku masih terdiam, tidak berani melihat ke arahnya.
setelah mama dan bintang mengobrol sebentar, akhirnya gilang meminta izin untuk mengajakku makan malam. alasannya, sebagai hadiah ulang tahun. sebagai teman. setelah bintang meminggirkan kursi dan membenarkan posisiku duduk, dia memesan makanan kesukaanku. 5 menit pertama kami hanya terdiam. wajah bintang tidak berubah, masih tetap tampan, hanya saja terlihat tidak terawat karena bulu-bulu halus telah menutupi dagu dan pelipisnya. aku tidak pernah melihat bintang dengan kumis dan jenggot.

"kamu tetep cantik, em," ucapnya sambil tersenyum. oh Tuhan, aku sungguh merindukan senyuman itu.
"mama bilang ke kamu kalo aku bakal kesini?," tanyaku ketus
bintang menarik nafas berat, "Ngga, mama ga bilang kamu kesini, aku emang ga sengaja mampir kesini."

suasana begitu hening sampai selesai makan. aku tidak mau banyak bicara tapi mulutku selalu ingin terbuka dan mengatakan betapa aku merindukannya, tapi selalu tertahan. selesai makan, biasanya bintang mengajakku menari di balkon, di dekat kami duduk sekarang. tapi dengan kondisiku seperti ini, sepertinya tidak mungkin. bintang sama sekali tidak membahas tentang 6 bulan silam dan hadiah darinya.

"kamu mau pulang?," tanya bintang. dan aku mengangguk.

setelah membayar, bintang mendorong kursi rodaku menuju mobil jeepnya. masih mobil yang sama. dia beli ini setelah 2 tahun kami bersama. saat bintang membuka pintu dan menggendongku, terasa begitu sesak di dada. wajahku terasa begitu panas saat aku bisa merasakan degup jantung bintang yang berirama. begitu tenang. setelah mendudukanku dengan posisi yang benar, dia melipat kursi rodaku dan diletakkan di belakang. kemudian dia menyetir perlahan, menuju ke rumah. di saat perjalanan, bintang lebih banyak membahas tentang pekerjannya sebagai kontraktor. dia tidak menanyakan keadaanku selama 6 bulan ini, mungkin dia sudah mengetahui betapa sengsaranya hidupku. dia juga tidak membahasku tentang kehidupannya selama 6 bulan ini.

sampai di rumah, bintang membukakan pintu mobil dan menggendongku. dia lupa mengambil kursi rodaku, tetapi aku tidak mengingatkannya. dia tetap menggendongku, wajahku kembali panas dan saat itu pertahananku runtuh. aku menangis di gendongannya. aku melingkarkan tanganku di leher bintang. aku tanam wajahku di dadanya. menangis sepuasnya.

"maafin aku tang, maafin aku."

bintang tidak menjawab, dia hanya menarik nafas dan membuangnya perlahan. aku mengangkat wajahku yang masih berlinang air mata itu dan menatap ke arahnya. bintang masih berjalan menuju pintu rumahku, senyumannya yang seperti malaikat mengembang perlahan.

"kamu tau aku selalu maafin kamu."


Bintang membelokkan mobilnya ke parkiran dante kemudian menggendongku masuk. aku tidak pernah menggunakan kursi roda saat bersamanya, dia lebih memilih menggendongku. setelah memesan makanan, bintang mengajakku bercanda seperti biasa. bersama dengannya adalah saat-saat paling bahagiaku. setelah makan, dia mengajakku menuju balkon. awalnya aku tidak mau tapi dia memaksa. aku mengalah. entah kenapa bintang selalu tidak mengeluh saat menggendongku, pernah aku menanyakan apa dia tidak capek selalu menggendongku?

dia hanya menjawab,
"kalo dengan kaya gini kamu ga bakal pergi dari aku lagi, aku sih ga masalah," jawabnya sambil tersenyum jahil. aku mencubitnya, dia tertawa semakin keras.
"badan kamu kecil aja ko, gapapa, aku lebih suka gendong kamu daripada dorong kamu, itung-itung fitnes gratis."

di balkon, mengalun melodi yang halus dan pelan. dia menurunkanku di kursi pinggir balkon. dia memeluk pinggangku erat dan menggenggam tanganku yang sebelah kiri. dia mengangkatku, dia membuatku berdansa. walaupun sepenuhnya dia yang menggerakkan. aku menyandarkan kepalaku di bahunya. aku merindukan saat-saat dansa dengannya di balkon ini.

selesai puas berdansa, tidak terasa restoran ini sudah mau ditutup. bintang memakaikan jasnya untukku. udara malam terkadang membuatku menggigil. aku tidak sekuat dulu.

bintang memutar arah, bukan menuju ke rumahku, tapi sepertinya menuju pantai dekat sini. benar dugaanku, bintang mengajakku menuju pantai. aku sudah lama mengatakan pada bintang kalau aku ingin mendengarkan deburan ombak yang bersahutan dan bulan yang berada tepat di atasnya.

lagi-lagi bintang menggendongku untuk menuju pantai. dia mendudukanku di atas pohon yang tumbang di pesisir. malam ini pemandangan di laut begitu indah. sepi. aku bisa mendengar angin yang menggeser pasir dan deburan ombak. aku menghirup nafasku dalam-dalam, terasa begitu segar. bulan tepat berada di atas laut. malam ini bulan juga tampak lebih besar dari biasanya. air laut yang pasang surut mengenai kakiku. aku masih tidak bisa merasakan hempasan ombak di kakiku. bintang berdiri agak di depanku, melihat ke arah laut. kemudian dia membuka mulut,

"em, ambilin sapu tangan di kantong jasku ya."
"yang sebelah mana?," aku memasukkan tanganku ke kantong jas bintang. tidak ada sapu tangan, hanya ada bingkisan kotak kecil yang menyundul. aku mengambilnya, dan membukanya. di dalamnya terdapat sebuah cintin bermata yang berwarna ungu. amethyst. kemudian aku menoleh ke arah bintang dan bintang sedang berlutut di hadapanku.

"biar laut, bulan, bintang, ombak, yang jadi saksi. em, mau kah kamu menikah denganku? menjadi ibu dari anak-anakku?."

aku menahan nafas. di mataku terasa begitu penuh dengan air. dadaku sesak. pikiran tentang aku bukanlah perempuan yang sempurna untuk bintang kembali muncul tapi di lain sisi aku membayangkan tengah menggendong bayi perempuan kecil yang mirip sekali dengan bintang. air mataku menetes. aku tersenyum, kemudian tawa kecilku terdengar. aku mengangguk. bintang memasangkan cincin itu dan kemudian memelukku begitu erat.

aku ingat saat bintang memintaku menjadi kekasihnya, 7 tahun yang lalu. tidak seperti ini, malah tergolong aneh kata hendra. tapi kataku, itu spesial. bintang mengajakku makan malam di restoran kesayangan kami, dante. setelah berdansa, dia memelukku sambil berbisik,

"jadi kita pacaran?."

aku tertawa tapi dia tidak ikut tertawa saat itu. dia menunggu jawabanku. aku menghentikan tawaku dan mengangguk.

--

In a relationship you have to accept the other person for all of who they are and not just the parts that are easy to like, and your stupid if you turn back on something important as Love - valentine's day.

donat

Minggu, 24 April 2011

Dunia Fantasi


“Aaah!” Aku terbangun dari tidurku. Terhenyak. Bangun karena mimpi buruk adalah cara paling menyebalkan untuk membuka mata. Asal tahu saja, mimpiku barusan mengerikan sekali. Mengingatnya saja sudah membuatku berkeringat lagi. Bukan, bukan mimpi dikejar monster atau setan atau semacam itu. Dalam bunga tidurku, aku dikejar panda. Ya, aku takut sekali pada panda. Pertanyaan terbesarku adalah, mengapa semua orang bilang panda itu lucu?

Aku melirik jam dinding di sudut kamar. Pukul 03.00.

Tiba-tiba, aku merasa ingin mengosongkan kandung kemihku. Terhuyung-huyung aku menuju kamar kecil. Setelah buang air, aku merasa aneh. Kenapa di luar terang sekali? Mengapa aku baru menyadarinya setelah keluar dari toilet? Mungkinkah tadi sebelum terkena air nyawaku belum terkumpul seutuhnya?

Aku heran. Antara takut dan penasaran, aku mengintip lewat gorden ruang tamu. Kau tak akan percaya dengan apa yang kulihat. Matahari sudah terbit! Aku mencoba menenangkan diri. Tenang, mungkin jam di kamarku saja yang rusak. Ya, pasti begitu. Aku mengecek jam di ruang tamu, di ruang keluarga, juga di dapur. Semuanya menunjukkan waktu yang sama. Pukul 03.05.

Aku mengacak-ngacak rambutku. Aku pasti masih bermimpi. Untuk memastikan bahwa ini bukan sekedar halusinasi, aku memberanikan diri membuka pintu depan. Ini nyata. Aku mencubit pipiku, memencet hidungku, mencakar lenganku. Sakit sekali. Berarti ini memang terjadi, sungguhan.

Sinar matahari cerah bersinar. Teriknya ganjil. Terang tanpa celoteh anak-anak yang berangkat sekolah. Tanpa suara ibu-ibu rumah tangga dan pembantu yang bergosip. Tanpa para ayah yang mencuci mobil atau bersiap berangkat kerja. Aku hanya bisa terpaku sambil memegang gagang pintu.

Sebelum sadar apa yang kulakukan, aku berlari menuju kamar utama. Seharusnya ini kulakukan sejak tadi, memberitahu ayah dan ibu.

“Ayah! Ibu!” Sambil menggedor pintu kayu kamar orangtuaku, aku terus memanggil-manggil keduanya. Aku mulai khawatir ketika tak kunjung terdengar jawaban dari dalam. Ayahku memang tukang ngorok dan susah dibangunkan, tapi ibu? Beliau selalu bangun walau hanya mendengar suara tikus di halaman depan.

Tanganku mulai lelah mengetuk pintu. Kuputuskan untuk langsung membukanya saja. Kejutan! Ayah ibuku tidak ada di sana! Matilah aku. Apakah mungkin mereka pergi saat aku tidur? Tapi kemana?

Seseorang melintas di benakku. Aku segera berlari ke kamar kakak. Tanpa menunggu lama, kubuka lebar pintu kamar penuh stiker band metal itu. Kejutaaaan, kakakku juga tidak ada.

Kengerian menyergapku. Berarti, aku sendirian. Keringat muncul sebulir demi sebulir di ujung hidungku. Aku sendirian di tengah keanehan ini, Aku sendirian di hari yang ganjil, hari dimana matahari terbit jam tiga pagi. Aku merosot ke lantai. Bingung, tak tahu apa yang harus kulakukan.

Tiba-tiba aku bangkit lalu berderap menuju halaman depan. Aku harus tau, apa yang sebenarnya terjadi. Mataku menyipit silau begitu sinar matahari menusuk mataku.

Aku terus berjalan di atas rerumputan yang ditata rapi oleh ibu. Aku berhenti
ketika kakiku menabrak sesuatu yang padat, tetapi lunak. Belum habis terkejutku, aku melihat bahwa benda kenyal itu memiliki gradasi warna yang indah sekali. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ini pelangi! Setelah kutelusuri, pelangi itu berlanjut terus sampai ke atas. Menembus langit.

Eh , bukankah di ujung pelangi ada kuali yang penuh terisi koin emas? Menggoda sekali bukan? Aku bisa kaya raya setelah meraup semua emas itu. Baru setelah itu aku akan mencari ayah , ibu, dan kakak. Yap, mungkin semua ini membuat otakku berpikir tidak wajar, tapi setidaknya aku punya rencana.

Untuk memanjat pohon, aku ahlinya. Dari semua remaja di komplek perumahan ini, hanya aku yang bisa memanjat pohon. Yang lain tak ada seujung kuku pun dari aku. Bahkan yang laki-laki pun tidak. Mereka semua cuma anak mama yang manja. Lagaknya saja preman di sekolah, padahal di rumah masih disuapin pembantu. Cih. Oke, kembali lagi ke masalah baru yang kutemui. Memanjat pohon sih mudah saja bagiku yang sering memanen mangga di rumah nenek, tapi memanjat jelly?

Aku mencoba merambat di atas jelly warna-warni itu. Seperti yang sudah kuduga, aku terpeleset. Setelah beberapa waktu berkutat dengan pelangi kenyal dan terpeleset untuk yang kesekian kalinya, aku menyerah. Sambil terengah-engah aku duduk menggelosor di rumput yang empuk. Bagaimana caranya untuk bisa sampai di ujung jelly raksasa ini? Aku berpikir keras, dan tanpa sadar bergumam, “Coba pelangi ini bentuknya seperti tangga. Akan lebih baik lagi kalau tangganya berjalan. Eskalator,”
Seperti belum cukup aku dikejutkan, pelangi di hadapanku berubah menjadi eskalator aneka warna saat itu juga! Cepat-cepat, sebelum benda ini kembali menjadi bentuknya semula, aku menaiki anak tangga terbawah, dan aku terangkat ke atas.

Kepalaku menoleh kesana kemari tiada henti. Jangan bilang aku norak atau kampungan! Kau pun pasti akan begitu jika naik eskalator pelangi menuju langit. Bukankah ini tidak terjadi setiap hari?

Sejengkal lagi aku menembus awan. Ingin tahu apa yang kulihat? Sabar ya, sebelumnya aku akan menceritakan bagaimana rasanya menembus awan. Ternyata teori bahwa awan berasal dari air yang menguap lalu berkumpul di langit itu salah. Aku tidak basah tuh, saat melewati awan. Tapi kalau awan itu mirip kapas, memang benar. Halus sekali, lebih halus dan lembut daripada kapas ibuku, yang katanya kapas paling bagus di supermarket. Karena mengira itu semacam gulali, aku mencubit sedikit awan lalu memasukkannya dalam mulut. Mataku membelalak, Alih-alih manis, yang kurasakan malah asin. Seperti… keju dan sosis… pizza! Aku mengambil segenggam awan lagi, mengunyah dengan cepat, Ternyata kali ini rasanya seperti ayam bakar. Aku ingin terus makan awan karena penasaran, rasa apa lagi yang akan kudapat. Sayang, pelangi membawaku terus naik dan melewati awan.

Di atas awan ternyata gelap. Hanya ada kerlap kerlip bintang di tengah segalanya yang hitam itu. Mendadak aku bosan. Cuma begini saja, pikirku. Lebih baik aku tinggal di awan saja, bisa kenyang. Baru selesai batinku bicara, rasa bosanku langsung sirna. Karena kusadari bahwa sumber cahaya yang tadi kukira bintang adalah sesuatu yang sama sekali lain. Cahaya kecil itu muncul dari ujung ekor binatang. Hanya saja, mataku yang minus dua ini sulit menangkap makhluk apa itu. Semakin tinggi ke atas, rupanya itu monyet. Monyet hitam, tidak menyeramkan. Justru mereka lucu sekali. Membuatku gemas. Ketika kulambaikan tangan pada monyet-monyet itu, mereka balas melambai. Tubuhnya sampai berayun-ayun di udara, membuat cahaya ekornya semakin berpendar.

“Halo, Nikita!”

Hei, dari mana mereka tau namaku? Aku yakin aku tidak pernah berkenalan secara wajar dengan er, sekumpulan monyet hitam.

”Ha, hai, darimana kalian tau namaku?” tanyaku menggantung.

“Kami tahu, namamu terkenal sekali, lho, di atas sini, selamat bersenang-senang ya!” Teriak mereka ceria.

“Terkenal bagaimana? Tahukan kalian dimana tangga ini akan berakhir?”

“Ikuti saja, ini kejutan. Sampai jumpaaaaaa!” Jawab mereka riang. Riang tapi misterius, membuatku pikiranku makin buntu. Terdampar di mana sebenarnya aku ini?

Aku mulai berpikir, sampai kapan tangga pelangi ini akan berhenti? Akankah aku terus terbawa naik hingga pucuk langit? Bagaimana jika langit tidak berujung? Masa aku harus menghabiskan sisa hidupku di sini?

Angin mulai berhembus. Agak dingin, dan aku cuma pakai baju tidur motif polkadot ini. Tidak tipis sekali sih, tapi saat ini aku berharap ada sweater tebal untuk membungkus tubuhku.

“Zlap!” Muncul sweater merah super tebal yang tiba-tiba saja melapisiku. Seharusnya aku kaget, hanya saja aku terlalu capek untuk sekedar melotot, atau tersentak. Aku ingin tidur. Rasanya tubuhku lelah sekali. Mungkin tulangku ada yang retak, atau malah remuk. Aku memang selalu paranoid dan melebih lebihkan. Seandainya kakak mendengar aku mengeluh begini, pasti kepalaku sudah dijitaknya. Sedangkan ibu pasti lebih mengkahawatirkan keadaanku. Tidak mungkin ibu membiarkan aku kedinginan. Ayah? Mungkin beliau hanya mengintip dari balik kacamata sambil tersenyum geli. Aku kangen kalian semua. Aku kangen ayah, ibu, kakak juga.

Mungkin aku benar-benar tidak bisa bertemu keluargaku lagi. Air mata memenuhi mataku. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak butuh koin emas, aku tidak butuh semua keajaiban ini. Aku mau hidupku yang normal kembali. Aku ingin bertemu keluargaku lalu memeluk mereka, supaya kami tak usah berpisah lagi. Aku tersedu dalam keheningan.

Jangan menangis, kataku pada diri sendiri. Menangis pun aku tak akan mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku mengusap mataku, dan kejutan berikutnya muncul. Pelangi kenyal yang kuniki lenyap tanpa bekas. Tunggu, kalau jembatan ini lenyap, artinya aku…

“Huwaaa…….!!!”

Aku menjerit keras sekali. Bagaimana tidak? Aku akan jatuh! Terjun bebas dari ketinggian sekian meter, atau bahkan kilometer, tak akan menyenangkan bagaimanapun bentuknya. Dan untuk mengingatkanmu, aku terjun tanpa satupun pengaman. Aku terus berteriak, dan tak juga menyentuh tanah. Ah, sudahlah, aku pasrah. Aku sudah muak melihat semua hal aneh ini. Biarlah aku jatuh sekalian.

“Bukk,” sesuatu yang empuk beradu dengan pantaku. Apa ini? Saat kuraba permukaannya, ternyata karpet. Karpet merah yang empuk sekali. Sangat tebal, dan warnanya senada dengan sweater yang sedang kukenakan.Oke, baguslah. Semoga saja karpet terbang ini bisa mengantarku pulang. Lagipula, bukankah karpet ini bisa kupakai mencari ayah ibu dan kakak? Aku tersenyum lebar. Sekelumit harapan muncul di kepalaku.

Lagi asyik-asyiknya membayangkan kembali ke kehidupanku yang normal, seseorang menepuk bahuku.

“Hai,”

Aku memutar kepalaku sembilanpuluh derajat. Dan aku membuka mulutku lebaaar sekali. Malah jangan-jangan liurku menetes. Kali ini, kau pasti akan sangat iri padaku. Kau tau? Tangan yang ada di pundakku itu milik seorang pria yang tampan sekali.
Gantengnya ya ampun, aku sampai tak mampu berkata-kata. Bahkan artis paling keren pun akan minder bila berdiri di sampingnya. Hanya saja penampilannya agak nyentrik. Kalau bisa kukatakan, mirip sekali dengan Aladdin, pacarnya Putri Jasmine itu.

Melihatku terlalu sibuk mengagumi wajahnya, dia melambaikan tangan di depan mukaku. “Halo, kamu nggak papa?” Pengucapannya terbata-bata. Sepertinya dia tidak begitu fasih bicara dalam bahasa Indonesia.

“Eh, aku nggak papa, cuma kaget aja. Kamu siapa?”

“Menurutmu aku ini siapa?” Lho, dia ini mencoba bercanda atau bagaimana? Orang aku bertanya kok ditanya balik, batinku.

“Kamu… Aladdin ya?” Bodohnya, jawaban konyol itu keluar dari mulutku. Percayalah, kau bisa melihat wajahku semerah tomat jika kau ada bersamaku.

‘Aladdin’ terdiam sejenak. Detik berikutnya, ia tertawa terbahak bahak, sampai surban di kepalanya miring. Tak menghiraukan aku yang bingung dan heran, Tawanya terus tersembur keluar. Aku hanya bisa menunggu saja sampai tawanya habis.
Setelah puas tertawa, Ia mengahadap ke arahku lagi.

“Kamu tau, aku yang mengatur hari ini untukmu,” ujarnya tanpa rasa berdosa.

“Hah? Tapi buat apa?” Orang ganteng ini yang ada di balik hari ganjilku! Dia dalangnya!

“Yah, sebenarnya aku selalu memperhatikanmu dari sini lho, kamu lucu. Kamu suka berkhayal, kan? Semua hal gila yang kamu khayalkan itu sampai ke sini. Makanya, kamu terkenal banget di atas sini, dan kami semua ada, dari imajinasimu itu,”

Aku terbengong-bengong. Aku tidak ingat pernah membayangkan mereka. Benarkah mereka berasal dari pikiranku?

“Kamu tenang saja, hari ganjil ini tidak akan kamu alami selamanya kok,”
Speechless, aku diam saja. Aku senang bisa pulang, tapi naik permadani terbang bersama Aladdin? Itu impianku. Meskipun cuma imitasinya, tapi sungguh, dia tidak kalah keren dengan cowoknya Jasmine.

“Kamu belum jawab, kamu siapa? Dan bagaimana caranya aku bisa pulang?”

“Panggil saja aku Abu”

Alisku mengernyit. Bukankah Abu itu… monyet teman Aladdin?

“Ya, kau benar. Namaku memang sama dengan monyetnya Aladdin,” Wow, dia bisa membaca pikiranku.

“Monyet yang ganteng,” Aku terkikik geli. Tak kusangka, dia ikut tersenyum geli.
Senangnya, aku naik permadani terbang. Bersama monyet ganteng ini. Samar-samar ada lagu A Whole New World mengalun. OST. Aladdin, plus angin yang bertiup semilir, uuuh, aku merasa jadi putri.

Rambutku berkibar, impianku jadi nyata!

“Klutuk!”

“Aduh!” Sebatang kapur mengenai kepalaku. Tepat ketika aku mengaduh, tawa mengejek menyambutku. Aku memandang sekeliling. Hei, aku duduk di bangku cokelat yang menyiksa! Aku ada di kelasku!

Kemana Abu? Kemana permadaninya? Kemana dunia yang aneh tadi?

Aku sudah kembali rupanya. Duniaku normal lagi. Di depan kelas, guruku berdiri dengan gagah, “ Kamu melamun lagi, kan? Ayo kerjakan soal di depan, sekarang!”
Dengan langkah gontai aku menuju papan tulis. Soal itu menyeringai, aku tak paham sedikitpun apa arti sekumpulan angka itu. Menyebalkan rasanya, harus kembali ke dunia nyata setelah menciptakan lamunan yang menyenagkan. Aku lebih suka melamun saja…


-orange-