Kamis, 28 April 2011

Sepeda, Motor, dan Jalanan

Hari 1

Aku hampir saja jatuh ke genangan air sisa hujan semalam.  Motor sialan. Nggak liat apa bajuku masih bersih mengkilat begini? Aku kan ingin tampil sempurna di hari pertamaku. B 1770 GG. Untung nggak aku kutuk jadi monyet. Huh.


Hari 2

Plat nomor ini! Ternyata yang punya motor sial kemarin sekolah di sini juga? Awas ya, kalo ketemu. Bakalan aku cekik sampai mati.


Hari 5

Cuma keliatan punggungnya. Rasanya pengen ngelempar sandal hak punya Bu Tere, guru kimia yang gaul abis – selalu pake stiletto buat ngajar, ke punggung pemilik motor setan itu.


Hari 12

“Bruk,” bukuku jatuh dari pelukanku, berserakan di anak tangga yang terakhir. Senior-senior yang berdesakan mulai ngomel. Secepat kilat aku memunguti semuanya. Tunggu dulu, ada yang kurang. Bagus, buku kumpulan tulisanku hilang. Setan. Buku itu lebih kusayang daripada nyawaku sendiri.

“Nih,” sebuah tangan yang berbulu halus namun cukup lebat dan berwarna kuning langsat mengulurkan buku kecil yang aku maksud, diam-diam kuberi nama buku ini Lolo. Kurebut. Dia terkesiap. Jaket ini...sepertinya begitu familiar. Akhirnya aku bertatap muka dengan dia. wajahnya begitu mempesona. matanya yang begitu indah berlapis kaca mata berbingkai hitam. hidungnya begitu mancung bak made in arabia, tapi aku yakin dia bukan orang arab atau jangan-jangan dia Bule. ya dia, pemilik motor yang nyaris membuat aku celaka. Tanpa banyak bicara, si pemilik motor dan yang juga membantuku memunguti buku-bukuku yang jatuh berserakan tadi, berjalan menjauh, meninggalkanku yang masih terdiam menerima buku darinya.


Hari 13

Gagal. Rencanaku mencekik bajingan tengik itu gagal. Mana tahu aku kalau dia seganteng itu? Mana mungkin aku tega menyiksanya sesuai skenario yang aku siapkan? Dengan helm pembalap miliknya, jelas wajahnya tertutup rapat, tersembunyi. Seandainya saja nih, aku mencekik dia, mustahil dia mati. Pasti aku yang kehabisan napas saking gugupnya. Bukankah mencekik itu bisa dibilang cukup intim?


Hari 16

Semuanya jadi aneh sekarang. Setiap aku bertemu dia, rasanya ganjil. Nggak nyaman sama sekali. Aku jadi sibuk mikirin apakah rambutku rapi apa enggak, bajuku rapi atau malah mirip preman sekolah, tali sepatuku terikat atau berleleran. Oke, fine. Senjata makan tuan. Kutukan berbalik menyerang diriku sendiri. selalu ada garis tipis pemisah benci dengan cinta. Dia mulai jadi penyiksa, alih-alih aku.


Hari 18

Kamu tahu rasanya disambar petir di siang bolong? Yang bikin istilah itu pasti tahu apa yang kurasakan saat ini. Well, ternyata boncengan motornya hari ini nggak kosong. Aku lihat sesosok makhluk yang cantik, dan juga angin yang menerbangkan rambut coklat lembutnya. Tertawa bahagia. Dia juga. Jangan lupakan aku, aku juga tetawa. Tertawa hampa.


Hari 19

Aku minta dibelikan sepeda. Biar nggak perlu jalan kaki lagi. Selain capek dan panas, aku nggak mau terlalu lama di jalanan. Jalanan membuatku ingat sama dia, yang sudah punya dia.


Hari 20

Bahagianya, sepedaku sudah datang, lho. Besok aku sudah bisa ‘gowes’ ke sekolah. Yay me!


Hari 21

Hidup dan takdir memang kejam. Tak bisa membiarkan aku senang sebentar saja. Lagi asyik mengayuh, eh dia lewat. Gugup, aku mendarat manis di tepi selokan. Sepedaku tersayang? Mendarat lebih manis tepat di dalam selokan.


Hari 34

Nafsu makanku langsung hilang. Semangkuk bakso hangat yang tadinya menggiurkan itu, kini seakan hambar. Aku melihatnya lagi. Mereka duduk berhadapan di meja sudut kantin.

Aku kesal, kenapa mereka harus jadi pasangan? Meski sakit hati, kuakui mereka sangat serasi.


Hari 35

Ketemu lagi. Di perpustakaan. Belajar berdua. Sama-sama rupawan dan cerdas, perfect!


Hari 39

Sudahlah, tak ada gunanya aku menghindar  terus. Takdir, entah kenapa selalu membuat aku melihat mereka. Mulai saat ini, aku harus rela melihat tawanya saat bersama dia.

Ingat kan, kalimat sekumpulan pecundang? Kalau dia bahagia, aku juga ikut bahagia.


Hari 50

Aku senang lewat jalan ini, sepi. Bisa agak santai tiap lewat sini, pemandangannya juga lumayan. Tunggu, jalanannya nggak kosong. Tidak. Ada motor terguling. Tubuh terguling di sebelahnya. Aku takut. Bagaimana kalau orang itu – siapapun dia- tak bernapas lagi?

Kudekati.

Jantungku serasa berhenti.

“Bangun!” aku mengguncang. Aku harus bergerak cepat.

Dia. Harus. Tetap. Hidup.

Aku mengayuh sepedaku kuat dan kencang. Ngebut cari bantuan. Dapat. Dia dibawa ambulans, aku ikut. Sepedaku dan motornya, terlupakan.


Hari 51

Dia belum sadar. Banyak selang di tubuhnya. Aku takut. Ibunya menangis terus, ayahnya berusaha menguatkan ibunya walaupun tampak dimatanya kekhawatiran yang mendalam, adiknya ikut-ikutan, aku diam. Aku duduk di pojokan. Tubuhku terasa kikuk. Hatiku terasa kosong dan berlubang. Hebatnya, aku tidak meneteskan airmata. Sedikitpun. Mengherankan ya, padahal biasanya lihat sinetron kacangan pun aku bisa sampai berlinang linang.


Hari 52

Belum bangun juga dia. Kuintip lewat kaca jendela, dia masih bermimpi. Ayolah, buka matamu. Jangan sampai sepasang mata itu tertutup terus. Tuhan, aku mohon.


Hari 55

Tiba-tiba saja keluarganya jadi mengenalku. Baru sekarang aku menyadari betapa miripnya dia dengan ayah ibunya. terlebih lagi dengan ibunya. Ibunya sering menceritakanku kebiasaannya yang suka membawakannya terang bulan setiap pulang malam, berusaha menyogok agar ibunya tidak marah. dan Ayahnya pun tidak sungkan mengajakku makan bersama dengan mereka sekeluarga. Aku merasa menjadi begitu dekat dengan keluarganya. Terbiasa? Mungkin.


Hari 70

Matanya terbuka. Bergerak gerak seakan menyimpan sesuatu yang menuntut dikeluarkan. Sesak di dalam tubuhku akhirnya tumpah, lewat mata.

“Ayah, Ibu, Dino, “ lemah dia bicara. “Dan kamu…siapa?”

Cuma gelengan yang kuberikan.

“Aku senang kamu bangun,” lanjutku. sesaat kemudian dia menutup matanya lagi dan ayah ibunya segera memanggil dokter. Lalu aku meminta diri dan memutuskan untuk pergi.


Hari 73

Sudah tiga hari sejak dia sadar. Sudah tiga hari aku tak mengunjunginya. Aku cuma ingin tahu bagaimana kabarnya.


Hari 80

Sms masuk. Ibunya? Aku ingat memberikan nomor handphone ku pada wanita itu. Ada apa ya?

“Bara mungkin lumpuh”

Tak ada tanda baca. Datar.


Hari 81

Kuputuskan untuk ke rumah sakit. Setidaknya mengintip sedikiiit saja atau say Hi barang sebentar. Setelah itu pulang.

Aku berjinjit sedikit, gadis itu ada di dalam kamar. Menatap Bara, dingin. Dia membalas tatapan itu dengan nanar, bara menangis.

“Aku nggak bisa sama kamu lagi. Dengan kondisimu yang kayak gini, kita nggak mungkin bersama, ” Tanpa selamat tinggal, gadis bernama Ariel itu berdiri dan kemudian meninggalkan bara yang sedang menutupi wajahnya.

Aku tak percaya pada apa yang kudengar. Aku begitu geram sampai tak sadar kakiku melangkah maju dan menghadang dia yang cantik itu.

“Kamu kejam!,” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Ariel yang tidak mengenalku melemparkan tatapan sinis dan kemudian pergi meninggalkanku yang masih terpaku di depan pintu kamar rumah sakit bara. Aku putuskan untuk kembali pulang, ini bukan saat yang tepat untuk berbicara dengannya.


Hari 82

Apel fuji. Manis dengan sedikit asam, gurih bila digigit. Kuharap bisa menghibur hatinya, meski sedikit. Aku sedang mengupaskan apel tanpa memecah keheningan. dia masih terlihat begitu kecewa dengan Ariel. bukan saat yang tepat untuk membuka obrolan. aku tidak mau hanya mendapatkan anggukan atau gelengan atau bahkan dia membuang muka.


Hari 83

Aku menjenguknya lagi. Meskipun kami tak saling bicara. Aku cuma ngobrol dengan ayah atau ibunya, dan menemani adiknya bermain.


Hari 85

“Aku kangen udara luar.”

Kudorong kursi rodanya menyusuri jalan setapak taman rumah sakit. Kami tetap diam. Sampai akhirnya dia membuka mulut.

“terkadang aku masih memikirkannya.”

aku langsung menangkap maksutnya, ariel.

“Iya, aku tahu”

Lalu hening yang panjang tetap menemani kami setelahnya.


Hari 90

Dokter bilang, dia bisa berjalan setelah melewati serangkaian terapi. Ayah ibunya tersenyum. Aku dan adiknya bersorak.


Hari 100

Untuk pertama kalinya, kami ngobrol dengan wajar.Bermula dari hal konyol, mengomentari serial TV yang kami benci. Hatiku mendadak dipenuhi bunga-bunga kecil yang bermekaran. Hari-hariku tidak pernah seindah ini.


Hari 110

Ajaib. Dia muncul lagi di sekolah. Sehat, normal, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Entah kenapa aku juga mencoba bersikap seperti biasanya, seolah tak kenal dia. Saat berpapasan dengannya aku lebih memilih memutar jalan atau terus menerobos keramaian yang ada di belakang punggungnya tanpa melihat ke arahnya. Entah dia menyadari atau tidak.


Hari 115

Aku sial lagi. Ban sepedaku bocor. Bukan pekerjaan mudah, kan, menuntun sepeda ketika matahari sedang giat bercahaya?

“Kenapa?” ada yang mendekat dan bertanya. suaranya...suara yang sudah lama ingin aku dengar.

“Bocor,” langkahku otomatis makin cepat.

“Mau bareng?”

“Sepedaku? Diseret? Dipangku?”

Dia cuma tertawa. Ujungnya, dia malah menuntun motornya di sampingku. Kalau ada yang lihat, pasti super aneh. Aku cuma bisa berdoa, semoga dia tuli jadi nggak bisa dengar degup jantungku yang semangat berdetaknya terlalu tinggi. Ini rahasia ya, aku bersyukur tukang tambal ban masih jauh sekali dari sini.


Hari 116

Setelah bertengkar kecil dengan Ibu karena aku tidak mau harus menuntun sepedaku lagi, aku takut sepedaku bocor lagi mengingat kata pak tambal ban bahwa ban sepedaku bagian dalam sudah tipis, kuputuskan hari ini jalan kaki saja. Di gerbang, motor itu gagah berdiri, dengan penunggangnya yang nggak kalah keren.

“Nggak bawa sepeda?”

“Kelihatannya?” Sok cuek. Padahal dalam hati, duh, ada yang menggebuk jantungku dengan ritme lagu metal. kamu membuat hatiku mengalami kontraksi ventrikel prematur. berat memang, baru baca kemarin di buku biologi.

“Bareng?”

“Kalo ditraktir baru mau,” gini ya, otaknya orang yang nggak fokus. Bikin malu!

dia memamerkan senyum andalannya, “Deal”


Hari 120

Aku diam. Dia diam. Kami sama-sama diam. Aku menggenggam kalung. Bandulnya sepeda.

Tak perlu kata-kata. Kami sudah saling mengerti.

Sepedaku, motornya, dan jalanan ini. Mereka bisu, tapi aku tahu merekalah dalang kisah ini.


-orange, edited by donat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar