Rabu, 27 April 2011

Untitled

Dit, sorry akhir-akhir ini sudah bikin kamu benci sama aku. Kata-kata yang kamu lontarkan di lobby kemaren benar kok. Tapi, kenyataannya aku bersikap gitu, karena aku juga baru sadar kalo aku sayang sama kamu. Tapi, tolong cabut kata-kata 'sampai mati juga aku nggak mau sayang sama patung macam kamu' ya? Aku takut kalau kamu nanti menyesal. Karena dalam waktu dekat, aku bakal bikin kamu jatuh cinta sama aku. Aku akan ngelamar kamu. Aku bakal buktikan kalau kamu salah, aku bukan patung. Karena patung nggak bakal bisa jatuh cinta sama kamu.

***

Aku bukan tipe laki-laki yang selalu ribut cari pacar kesana-kemari. Karena toh prioritasku bukan itu. Aku lebih pemikir dibandingkan laki-laki sampah yang sudah bertebaran di Indonesia. Bukan laki-laki yang rela buang-buang uang demi mendapatkan cinta dari perempuan. Bukan.

Tapi bukan, aku bukan gay. Aku juga pernah, terjerat dalam komplikasi cinta labil di bangku SMP. Namanya, Narita. Kami putus baik-baik. Setidaknya, menurutku, itu baik-baik.

"Alfa, kamu dimana?"
"Di hatimu, Ta. Tapi aku bosen, kita putus ya?"

Narita bahkan tidak membalas smsku. Itu tandanya tak ada protes berlebihan dari pihak kedua. Ini berarti putus baik-baik, kan?

Apalagi sejak aku menginjakkan kaki di sekolah menengah. Perempuannya tidak ada yang se-spesial Narita. Jadi, buat apa ikut bersaing dengan lelaki-lelaki hidung belang lainnya. Duduk sajalah, nanti pasti banyak perempuan yang datang padaku.

***

"Alfa, boleh minta saran nggak?"

Dia Dita. Kelas sebelah. Darimana aku kenal? Teman SD. Sebelumnya memang kami sering ngobrol. Bertukar pikiran. Dan tampaknya dia tertarik dengan cara berpikirku. Tapi cara berpikir dia bagiku, tidak secerdas cara berpikir Narita. Tetap, perempuan sekolah ini tidak ada apa-apanya dibanding Narita.

Kenapa aku masih sering membanding-bandingkan perempuan dengan Narita? Karena, memang aku masih sayang. Tapi, aku tidak tega melihatnya harus bertahan menghadapi kedinginanku. Melihatnya selalu menangis, dan berharap akan perhatian lebih. Tidak.

"Apa?"
"Soal pembicaraan terakhir kita, minggu lalu."
"Oh, iya. Jadi begini, Dit. Kalau menurutku..."

Pembicaraanku dengan Dita selalu menyenangkan. Waktu seakan-akan berlari cepat setiap kali kuhabiskan sore dengannya yang selalu menggebu-nggebu melawan argumenku.

Dita ini perempuan yang hebat, seharusnya. Tapi caranya dia bertindak, bisa-bisa membuat semua orang enggan bekerja dengannya. Terlalu rapuh. Berbohong ke Dita sudah seperti menulis abjad. Gampang. Terlalu mudah diinjak-injak. Berbeda dengan Narita.

Awalnya, kupikir dia ada perasaan denganku. Sampai suatu hari, ku dengar dia jadian dengan teman sekelasku.

"Dita, selamat ya. Lain kali, kalau kita ngobrol, harus izin dulu nih."
"Apa sih. Berlebihan kamu. Doni kan temen sekelasmu. Masa dia nggak ngerti kalo aku sering banget ngobrol sama kamu."
"Haha iya, ngomong-ngomong gimana proyek panti asuhan-mu?"

Lama. Lama sekali dia membalas smsku. Biasanya tidak selama ini.

Ah, iya. Lagi sibuk pacaran, mungkin. Maklumlah. Pasangan baru.

***

"Alfa.."
"Kenapa?"
"Pagi ini, aku ada ide baru soal proyek yang waktu itu aku ceritain kamu."
"Oh ya?"
"Iya, gini deh, uang yang selama ini aku targetkan, harus 85% di investasikan. Sisanya dibuat keperluan-keperluan dasar yang mungkin dibutuhkan."
"Begitu ya? Gimana menurut Doni?"
"Kok Doni?"
"Iya. Doni."

Aku sudah mulai kehilangan semangat membalas sms Dita. Entah kenapa.
Bahkan, obrolan sore kami tidak semenyenangkan dulu. Hampir setiap kali kuingat Doni, membuatku malas dan mulai menjawab ketus semua kata-kata Dita. Tapi sekalipun Dita menjadi korban kedinginanku, dia tak pernah memarahiku. Bahkan, dia seperti orang yang lebih memahamiku daripada diriku sendiri kali ini.

***

"Dita."
"Apa? Tumben."
"Dita dita.."
"Dita, kok lama."
"Dita"

Apa ini. Bahkan 2 menit lebih aku sudah tak sabar menantikan balasan sms dari perempuan ini. Nggak ini bukan apa-apa. Cuma sekedar rindu akan waktu-waktu yang aku luangkan mendengarkan ceritanya.

***

Aku hanya membayangkan, pernahkah Dita diam-diam mencintaiku? Pernahkah, di sela-sela waktu kami berbicara, mengagumi wajahku, seperti aku mengaguminya? Pernahkah dia cemburu akan Narita, seperti aku cemburu pada Doni?

Pernahkah Dita berjuang mati-matian mengeluarkan aku dari pikirannya? Membuat larangan-larangan kecil tentangku di pikirannya? Berpikir topik apa yang menarik sebagai bahan obrolan kami sebelum bertemu? Membayangkan bahwa semua keketusanku membuatnya sempat, bersedih, atau menangis? Menangisi hal yang semu di pagi yang tak biasanya.Seperti yang aku lakukan?

Seperti semua imajinasi tentang kita yang terbangun di setiap mimpiku.Tapi tak ada kata "kita" dalam kisah ini. Layaknya semua mimpi hanya menjadikanku bayangan yang bahkan tak menyadari kepada siapa ia jatuh cinta. Memimpinku untuk jatuh terlalu dalam.

Aku hanya berharap, aku tak sendirian.

***

"Alfa, kamu kenapa sih? Kamu selalu ketus setiap kali aku tanyain hal-hal yang justru penting buat aku. Tapi setiap kamu butuh? Berapa menit nggak aku respon, kamu sudah marah enggak karuan. Semua-muanya dihubungin sama Doni. Penting?"

"Kamu berlebihan. Aku biasa aja. Kamu harusnya tau aku."

"Aku tau kamu! Aku tau banget! Dan ini bukan kamu biasanya. Sedingin apapun kamu, secuek apapun kamu, sejahat apapun kamu, kamu nggak bakal pernah setega ini sama aku. Diemin aku. Apalagi sampe soal London."

"Soal aku berangkat ke London? Aku hanya nggak cerita, kan?"

"Terserah kamulah! Aku tau selama ini aku cuma perempuan bodoh yang selalu ganggu waktu senggangmu. Tapi kenapa kamu nggak pernah cerita kalo kamu bakal pindah ke luar negeri? Aku selalu ngerti kalo semua hal penting bagiku kamu anggap kecil. Semua hal yang aku ributkan, ternyata cuma hal kecil yang nggak penting buat kamu. Menurutku pisah sama kamu itu juga berat buat aku. Tapi aku yakin, pisah sama aku buat kamu adalah hal yang nggak penting. Masih penting, Narita? Iya, Kan?"

"Buat apa kamu bawa, Narita? Doni sana, kamu rawat."

"Aku putus sama Doni, fa. Aku putus karena selama aku pacaran sama Doni, intensitas aku mikirin dia dan mikirin kamu, jauh lebih besar mikirin kamu. Tapi ternyata emang, semua perempuan nggak ada apa-apanya dibanding Narita. Meskipun, aku sayang sama kamu. Udah mati rasanya! Sampai mati juga aku nggak mau sayang sama patung macam kamu!"

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar