Dia. Siapa yang tak mengenalnya. Apalagi jika bukan karena kepandaiannya. Kabar-kabarnya, hampir semua mata pelajaran ia kuasai. Mulai dari sains kental ke pengetahuan umum. Pernah sekali aku memberanikan diri melihat nilai ujian matematikanya di papan pengumuman, dan hanya bisa menghela nafas panjang melihat sebuah nilai absolut menjadi miliknya. Pernah pula, suatu hari aku mengikuti ujian susulan bersamanya. Mentalku jatuh seketika, saat 2/5 soal masih belum kusentuh dan dia sudah melenggang saja dari ruangan. Gila.
Omong-omong, tak sedikit orang yang memuja kecantikannya lebih-lebih, dibandingkan kepandaiannya. Meski bagiku, parasnya hanyalah bonus ekstra baginya. Kepandaiannya lah yang seolah membuat pesonanya bertebaran dimana-mana. Atau boleh juga dibilang kombinasi kedua hal tersebut yang berhasil membuatnya bersinar di sekolah kami.
Dia. Yang kukenal selama 5 tahun sekolah menengahku. Yang selalu kupandang dari kejauhan, tanpa pernah sepatah katapun kami ucap, tanpa pernah satu detik waktu kami lewati bersama. Tak masalah memang. Mencintai seseorang itu hal yang tak bersyarat. Benar kan?
Tapi itu dulu. Empat bulan yang lalu dia datang menyapaku di tepi lapangan utara. Hatiku berdegup kencang. Bertanya-tanya, darimana dia mengenalku? Sebelum pertanyaan itu terjawab, dia sudah bercerita panjang lebar tentang keluarganya. Terutama ayahnya. Tapi siapa aku? Mendengar banyak hal tentang keluarganya, yang bisa saja teman sebangkunya tak pernah mendengar. Dan kamu tau apa katanya? Katanya, ayahnya baru saja menunjukkan sebuah foto kepadanya. Katanya foto itu foto saudara tirinya.
Tapi siapa kira, ternyata laki-laki di foto itu adalah orang yang selama ini kutatap di sebilah cermin. Yang kuyakini sudah hampir 5 tahun lebih mencintai saudara tirinya sendiri.
-matahari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar